Anti Korupsi/narasiinspirasi.com |
Oleh
Risqi Putra Satria
Ig : rizqiputrasatria
(Malang Cerah, 10 April 2021)
Zaman begitu cepat berubah seiring perkembangan teknologi informasi. Era disrupsi dikenal sebagai era yang begitu cepat mengubah wajah layanan publik, era yang melahirkan musuh-musuh tak terlihat dan klandestin. Masyarakat mendapat informasi dari berbagai sumber.
Maka ketika akses informasi dari birokrasi pemerintahan tersumbat, bisa jadi warga sudah mendapatkan alternatif informasi yang dibutuhkan dari sumber yang lain, bisa informasi yang benar atau malah informasi yang mengaburkan fakta. Demikian juga berlaku dalam bidang birokrasi dan pelayanan publik yang turut ikut tergerus oleh disrupsi.
Di era teknologi digital yang serba praktis dan efisien birokrasi harus bisa menyelaraskan diri. Reformasi birokrasi berupa birokrasi digital berkembang menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Tidak mengherankan jika para pembentuk undang-undang sudah mewanti-wanti akan pentingnya eksistensi perkembangan pelayanan ke dalam unsur-unsur administrasi pemerintah, misalnya dalam tata naskah dinas, perizinan online, laporan RAB anggaran online dll. Terbukti dalam pengakuan atas keputusan berbasis elektronik dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. (Untuk telaah tentang Disruptive Bureaucracy, bisa membaca buku Rhenald Kasali, Disruption, cetakan 2017).
Ketika Presiden Joko Widodo memerintah Indonesia, slogan Revolusi Mental bergema. Para anggota kabinetnya menyemai benih-benih revolusi mental itu ke dalam wilayah tugasnya masing-masing. Tak terkecuali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly. Bagi Yasonna, birokrasi digital tak lain adalah revolusi mental.
Revolusi ini tak berhenti pada perubahan pola pikir dan sikap kejiwaan, tetapi juga konsekuensi turunannya dalam bentuk perubahan kebiasaan (moralitas) dan perwujudan karakter yang menyatukan pikiran, bahkan sikap dan tindakan. Reformasi birokrasi adalah bentuk nyata dari revolusi mental itu sendiri.
Dalam buku terbarunya, Birokrasi Digital (September 2019), Yasonna memaparkan beragam argumentasi tentang pentingnya melakukan reformasi birokrasi sebagai perwujudan revolusi mental. Tentu saja ini penting dilakukan, lantaran birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang tak mungkin terelakkan. Melalui pelayanan publik, birokrasi bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Maka dari itu,"Birokrasi" dapat menjadi indikator menilai performa pemerintahan kepada rakyatnya. Lambat laun, penilaian itu berimbas pada kepercayaan publik terhadap pemerintah (hal: 6-7). Pembaca akan mendapatkan uraian bagaimana Yasonna melihat pentingnya menerima dan menjalankan birokrasi digital dalam pelayanan publik. Urgensi itu tidak hanya dilihat dalam kacamata teori saja, namun juga berdasarkan pengalaman beliau sebagai MENKUMHAM (2014-2019).
Secara teori, sudah banyak penelitian yang mengupas tentang wajah birokrasi Indonesia. Contohnya model Bureaucratic Policy yang dibuat oleh Karl D. Jackson (1978) yang mana model birokrasi ini lebih menekankan pada peran-peran pemegang kekuasaan, dan menyingkirkan peran masyarakat sipil di pemerintahan. Hans-Dieter Evers (1990) melihat birokrasi Indonesia berproses ala Parkinson dan ala Orwel.
Birokrasi ala Parkinson menggambarkan wajah birokrasi yang memperbesar sosok kuantitatif. Hal ini tergambar nyata dalam jumlah pegawai negeri sipil Indonesia yang terhitung gemuk. Birokrasi ala Orwel memperlihatkan model perluasan kekuasaan pemerintahan untuk mengontrol berbagai lini kehidupan masyarakat, terkadang dengan cara paksaan sekalipun.
Dari sisi kultural, Yasonna menulis, birokrasi Indonesia juga bersifat patrimonial. Ini ditandai pandangan bahwa jabatan dianggap sebagai sumber kekayaan dan keuntungan . Para pejabat disaring dan terpilih berdasarkan kriteria pribadi. Setiap tindakan diarahkan pada relasi pribadi dan politik.
Para pejabat saling berkelindan untuk mengontrol fungsi politik dan fungsi administrasi (hal: 94). Dalam konteks ini, beliau melihat pentingnya pengembangan birokrasi digital berkorelasi sebagai upaya dan solusi untuk pencegahan tindak pidana korupsi.
Ia menyebutkan bahwasanya sumber penyakit birokrasi Indonesia dapat diidentifikasi pada dua lokus, yaitu internal dan eksternal. Lokus internal adalah perilaku korup birokrasi Indonesia, ditambah minimnya pengawasan (monitoring & controling). “Sistem pengawasan atasan bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara bersama-sama,” begitu yang ia tulis dalam bukunya (hal: 172).
Selanjutnya adalah lokus eksternal, penyakit korup dalam birokrasi dapat disebabkan oleh relasi antar berbagai sistem terkait, misalnya kooptasi dan politik. Relasi antara pengusaha dan penguasa jika tak terkontrol justru dapat "menyuburkan" praktek korupsi. Jumlah kepala daerah yang tersandung kasus korupsi terus bertambah (sebagian karena terkena operasi tangkap tangan KPK).
Baca Juga Islam Sontoloyo Era Masa Kini
Korupsi itu laksana "flu burung" yang menyerang tanpa ampun ke seluruh organ negara. Oleh karena itu, korupsi dia sebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dan agenda pemberantasannya pun semestinya menggunakan cara-cara yang berbeda dan inovatif. Ia menulis bahwa korupsi akan sulit diberantas jika digunakan cara-cara yang biasa (hal: 167). Paragraf ini mungkin akan menjadi catatan kritis pembaca terhadap sepak terjang Yasonna dalam isu pemberantasan korupsi selama menjadi Menteri Hukum dan HAM, terutama pandangan-pandangannya tentang revisi UU KPK dan remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Terlepas dari kemungkinan catatan kritis itu, beliau memperlihatkan sebuah pembelajaran penting birokrasi digital di layanan administrasi hukum umum (AHU). Pelajaran dari izin pelayanan pendirian perseroan terbatas, misalnya dari hitungan berhari-hari berubah menjadi layanan hitungan menit.
Dalam hitungan menit, pengguna layanan seperti notaris bisa langsung mencetak dokumen yang dibutuhkan (sepanjang telah memenuhi persyaratan). Layanan-layanan digital di bawah Kementerian Hukum dan HAM terus berkembang sehingga memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan publik.
Buku yang ditulis Yasonna ini berhasil menguraikan banyak dalil dan raison d’etre birokrasi digital. Para pembaca akan mendapatkan relasi antara rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dengan sifat birokrasi yang tertutup dan berpeluang korupsi. Mau tidak mau, melalui birokrasi digital, praktek lancung korupsi, kolusi, dan nepotisme akan tergerus.
Tentu saja, ada tantangan untuk menerapkan birokrasi digital. Mungkin akan ada perubahan budaya (culture set), dan mungkin juga perubahan nilai. Banyak sumber daya manusia yang akan kehilangan "kursi" karena tidak dibutuhkan lagi di era digital. Secara yuridis, tantangannya juga menyangkut keamanan siber. Sekali terkena serangan, imbasnya sangat masif. Pada akhirnya perubahan di birokrasi akibat era digital tak mungkin dihindari. Seperti kata filsuf Yunani Heraklitus dan Albert Einstein,"Yang abadi adalah perubahan itu sendiri."
Dan untuk mereka yang berubah menjadi lebih baik, Yasonna memberikan apa yang dia sebut sebagai "wejangan", yakni sebuah buku setebal 286 halaman. Praktek birokrasi digital perlu direplikasi ke lembaga lain maupun ke daerah lain.
Dalam buku ini tergambar pandangan dan pengalaman penulisnya sebagai pembantu presiden dalam mewujudkan "Nawacita". Harapannya satu, yaitu "pelayanan publik yang semakin baik". Membaca buku ini juga akan membuka "jendela" para pembaca tentang dunia birokrasi digital.
Source:
Evers, Hans-Dieter dan Tielman S. 1990. Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jackson, Karl D. 1978. Bureaucratic Polity: A Theotrical Framework for The Analysis of Power and Communications in Indonesia. Berkeley: University of California Press.
Kasali, R. 2017. DISRUPTION. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Laoly, Y. H. 2019. BIROKRASI DIGITAL. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet.