Kue Klepon/narasiinspirasi.com |
Oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Malang, 24 Februari 2021)
Mengenal Klepon
Hai guys pernahkah kamu makan kue klepon? Kalau kamu sering berjalan-jalan ke pasar, khususnya wilayah dengan penduduk mayoritas masyarakat Jawa, pasti kamu sering menjumpai makanan ini. Klepon tidak hanya disajikan secara tradisional, bahkan saat ini hotel-hotel pun mulai melirik klepon dan mengemas panganan ini secara elegan dan seringkali menghidangkan kepada para pengunjung sebagai hidangan pembuka atau penutup. Namun tahukah kamu filosofi bijak yang terkandung di dalam klepon? Yuk mari kita simak.
Baca Juga Arti Makna Filosofis Takir Jawa
Klepon adalah sejenis makanan tradisional atau kue tradisional yang termasuk ke dalam kelompok jajan pasar. Makanan ini sangat disukai karena ada sensasi kenyal, gurih dan manis karena ada muncratan gula merah yang legit saat di dalam mulut.
Klepon biasa dijajakan dengan getuk dan cenil (juga disebut cetil) sebagai camilan di pagi atau sore hari. Warna klepon umumnya adalah hijau tergantung selera. Untuk klepon dengan warna hijau, perlu ditambahkan bahan pewarna dari daun suji atau daun pandan.
Makanan ini terbuat dari tepung beras atau tepung ketan yang dibentuk seperti bola-bola kecil dan diisi dengan gula merah lalu direbus dalam air mendidih. Setelah itu klepon digelindingkan atau ditaburi parutan kelapa muda.
Baca Juga Kisah Sabdo Palon Sang Amongrogo Nagih Janji (Ramalan Jawa Kuno Tentang Kejayaan Nusantara)
Filosofi Klepon
Klepon Enak/narasiinspirasi.com |
Klepon adalah lambang kesederhanaan
Bentuknya yang bulat, polos, dan hijau, merupakan lambang kesederhanaan. Namun siapa yang menyangka, dibalik “kesederhanaan” bentuknya, dia mempunyai rahasia yang tersembunyi disebalik isinya yaitu rasa manis yang tersembunyi, yang muncul dan meledak saat kita menggigitnya. Memang kita akan sering kali keliru ketika masih terjebak dan mengedepankan dimensi fisik daripada dimensi sifat.
Dari yang “sederhana” namun penuh “isi” itu menyiratkan kita akan makna hidup bahwa memang seharusnya kita ini rendah hati, sederhana, biasa saja, namun penuh makna, tidak perlu sorak-sorai untuk menjalani hidup karena orientasinya sudah bukan lagi kepada manusia tapi kepada Tuhan sebagai entitas pemilik kebenaran yang tertinggi.
Tidak perlu sesuatu yang berlebih-lebihan, tidak perlu kesombongan, tidak akan risau karena cemoohan, tidak akan tinggi ketika dipuji, tidak akan tumbang ketika di maki. Sama seperti klepon yang diluarnya “sederhana” namun memiliki isi dan penuh makna, yaitu gula aren yang meleleh dan manis di dalamnya.
Klepon mengajarkan tentang perjuangan pantang menyerah
Salah satu proses dalam pembuatan klepon adalah klepon harus direbus terlebih dahulu ke dalam air yang mendidih. Saat gelindingan klepon dicemplungkan ke dalam rebusan, klepon akan langsung tenggelam ke dasar, baru kemudian mengapung dan muncul di permukaan.
Pelajaran yang dapat kita petik adalah tentang makna perjuangan dan fase kehidupan. Sesungguhnya kehidupan itu sangat dinamis, kehendak Tuhan adalah misteri, kewajiban kita sebagai manusia adalah agar terus berusaha, berikhtiar dan berjuang. Terkadang kita harus terpuruk, jatuh ke bawah dan mengalami fase terendah dalam hidup.
Namun disetiap kesulitan pasti terdapat kemudahan. Kita harus bersusah payah dahulu, ibarat klepon yang direbus dalam air panas (mengalami kesulitan dan ujian), setelah mengalami "kematangan" barulah kita bisa terbebas dan berhasil untuk naik ke permukaan (terlepas dari keterpurukan). Kita akan mengalami proses yang panjang untuk mencapai posisi dan tempat di “atas” tersebut, perlu usaha dan kerja keras untuk mencapainya.
Klepon Mengajarkan Tentang Kebersamaan
Klepon tidak pernah disajikan hanya satu biji saja. Dia selalu disajikan secara kolektif minimal 4 atau 5 biji klepon yang biasanya berdesakan satu sama lain dalam satu wadah beralaskan daun pisang.
Hal itu menunjukkan bahwa kebersamaan dan persatuan kolektif itu penting. Klepon yang hanya disajikan secara tunggal tidak akan banyak memberikan makna. Tetapi ketika disajikan secara kolektif klepon akan memberikan kesan yang berbeda bagi penikmatnya.
Sama seperti kehidupan, kita tidak boleh bersifat individualis, tidak peduli kepada orang lain, hanya mementingkan kepentingan pribadi dan diri sendiri. Kepentingan umum dan kepentingan bersama harus menjadi prioritas yang utama, jangan terbalik. Kita hidup berdampingan maka harmoni dan keselarasan adalah yang utama.