Bung Karno Sang Proklamator/narasiinspirasi.com |
Oleh
Prof. Dr. Hariyono, M. Pd
1. Guru Besar Universitas Negeri Malang
2. Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila BPIP
Hari ini kita bangsa Indonesia memperingati 75 tahun kemerdekaan. Kita patut bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bangsa selalu mendapat rahmat dan hidayahNya sehingga kita tetap bersatu dan terus berjuang untuk menjadi bangsa yang maju. Kita juga bersyukur pada para pahlawan dan pendiri bangsa yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Uniknya masih ada beberapa kisah sejarah sekitar proklamasi yang oleh sebagian pihak dianggap kontroversial. Salah satunya adalah kisah Bung Karno dan Bung Hatta dalam detik detik proklamasi 17 Agustus 1945.
Penyebabnya masih banyak warga negara Indonesia yang belum sempat membaca buku biografi bung Karno yang ditulis Cindy Adams yang asli (Sukarno an Autobiography as told Cindy Adams) atau terjemahan yang terbaru (terjemahan Syamsu Hadi). Tetapi, mereka sudah membaca buku biografi bung Karno terjemahan yang lama (oleh Mayor Abdul Bar Salim) dan atau membaca buku bung Hatta Sekitar Proklamasi.
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat/narasiinspirasi.com
Dampaknya bisa menimbulkan distorsi pemahaman. Seolah bung Karno itu egois dan tidak menghormati bung Hatta (dan Bung Sjahrir), khususnya saat detik detik proklamasi. Sejarawan sekaligus tokoh Muhammadiyah dan pernah dipercaya sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, bapak Prof Dr. Syafii Maarif saja sempat "terpedaya" oleh narasi yang seolah bung Karno "melecehkan" Hatta demikian komentar sejarawan Aswi Warman Adam dalam kata pengantar otobiografi yang terbaru.
Untuk itulah saya tertarik menuliskan "penyalahgunaan sejarah" ini walaupun agak panjang dalam ukuran tulisan di medsos. Tujuannya agar kita makin bijak dalam belajar sejarah sehingga dapat damai dengan masa lampau untuk menatap masa depan yang lebih baik.
Salah satu tulisan bung Hatta yang banyak dibaca oleh publik adalah buku SEKITAR PROKLAMASI (beberapa kali terbit). Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1969 oleh Penerbit Tintamas Indonesia. Tulisan dalam buku tersebut berangkat dari keprihatinan bung Hatta terhadap beberapa kisah dan tulisan yang terjadi sekitar proklamasi. Banyak kisah sejarah yang tidak didasarkan pada fakta yang sebenarnya sehingga terjadi tumpang tindih antara legenda dan realitet, "Dichtung und Wahrheit".
Dalam tulisan ini saya tidak membahas isi buku secara keseluruhan. Saya hanya ingin fokus pada kemarahan bung Hatta terhadap bung Karno. Bung Hatta melihat bung Karno telah berubah. Bahkan bung Hatta menyebut bung Karno dengan kata yang keras "Inilah ucapan seorang diktator Sukarno, yang mengagungkan dirinya sendiri dan lupa daratan, berlainan dari Sukarno dahulu, pemimpin rakyat di masa proklamasi dan sebelumnya"
Ternyata kemarahan bung Hatta disebabkan oleh kisah biografi bung Karno "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang diceritakan pada Cindy Adams. Bung Hatta merasa lucu melihat dongeng yang dibuat oleh bung Karno. Beliau mengutip tulisan tersebut secara lengkap dari buku biografi halaman 331-332. Untuk lengkapnya saya kutip semuanya yang ditulis oleh bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi halaman 55 sd 56.
"Sekarang, Bung, sekarang......!" rakyat berteriak. "Nyatakanlah sekarang....." Setiap orang berteriak kepadaku. "Sekarang, Bung... ucapkanlah pernyataan kemerdekaan sekarang, hayu, Bung Karno hari sudah tinggi... hari sudah mulai panas... rakyat sudah tidak sabar lagi. Rakyat sudah gelisah, Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah proklamasi." Badanku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana dimana setiap orang mendesak, anehnya aku masih dapat berpikir tenang.
"Hatta tidak ada," kataku. "Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada." Tidak ada orang yang berteriak "Kami menghendaki Bung Hatta". Aku tidak memerlukannya. Sama juga aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan "pemimpin" ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari hari yang demikian itu aku memerlukan orang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.
Dalam detik yang gawat dalam sejarah inilah Sukarno dan tanah air Indonesia menunggu kedatangan Hatta". Dalam buku yang ditulis oleh Cindy Adams "BUNG KARNO Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang dialih bahasakan Mayor Abdul Bar Salim dan diterbitkan pertama kali oleh Gunung Agung tahun 1966, apa yang ditulis oleh bung Hatta memang benar adanya.
Tentu bagi pembaca yang membandingkan kedua buku tersebut menjadi maklum dan memahami mengapa bung Hatta sangat tersinggung dan marah. Bung Karno tidak sportif telah melecehkan peran Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir di era proklamasi.
Namun untungnya ada yang curiga dengan tulisan tersebut. Salah satu yang curiga adalah pihak Yayasan Bung Karno. Ditugaskanlah Syamsu Hadi untuk meneliti hal tersebut secara cermat agar pemahaman publik terhadap proklamator bangsa Indonesia yang sering disebut "dwitunggal" tidak terbalut kisah yang terdistorsi.
Berdasarkan hasil pelacakan Syamsu Hadi dalam buku yang ditulis oleh Cindy Adams dalam bahasa Inggris (Sukarno an Autobiography as told to Cindy Adams yang diterbitkan The Bobbs-Merill, New York, 1965) alenia yang kontroversial (mengkerdilkan peranan Bung Hatta dan Bung Sjahrir) tersebut tidak ada.
Ini suatu pelajaran bagi kita semua untuk lebih kritis dan waspada sekiranya ada kisah kisah negatif terhadap para pahlawan dan atau pendiri bangsa. Kita perlu mencari sumber sumber lain untuk verifikasi atau triangulasi agar tidak mudah diprovokasi oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini mengadudomba sang proklamator, dwitunggal Sukarno-Hatta. Kita tidak perlu marah. Mari kita sebagai generasi penerus tidak mengulang kesalahan yang terjadi di masa lampau (karena kita bukan sejenis dengan keledai) dengan menyalahgunakan kisah sejarah.
Untuk menjadi pribadi dan bangsa yang maju diperlukan kejujuran, ketulusan dan kedewasaan dalam melihat masa lampau terutama proses perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Dalam kejujuran dan saling memahami itulah kita sebagai sesama anak bangsa bisa bersatu, saling percaya untuk berjuang bersama menuju INDONESIA MAJU. Semoga dengan perjalanan kemerdekaan bangsa yang menginjak 75 tahun kita makin bijak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA.