Kontroversi Sejarah Hari Lahir Pancasila/narasiinspirasi.com |
Oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Pagi Yang Cerah, 29 Juni 2020)
narasiinspirasi.com - Seperti yang telah kita ketahui Pancasila adalah dasar negara Indonesia dan merupakan Weltanschauung dari bangsa Indonesia. Weltanschauung merupakan kata dari bahasa Jerman yang terdiri atas welt (dunia) dan anschauung (pandangan) atau dalam bahasa Inggris worldview, yang mengandung makna seperangkat prinsip, pandangan, dan keyakinan (a set of beliefs) yang akan menjadi dasar menentukan kearah mana suatu masyarakat akan dibawa di masa depan kelak.
Berdasar pada Pidato 1 Juni Soekarno di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 1 Juni 1945, Pancasila dirumuskan sebagai sebuah weltanschauung atau Pandangan Hidup Bangsa Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai kearifan yang hidup dalam masyarakat Nusantara sejak lama. Seperti yang diucapkannya: “Tuan-tuan sekalian, weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia merdeka datang.” Selanjutnya, dikatakan: “Jika hendak mendirikan negara Indonesia merdeka timbullah pertanyaan apakah weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia merdeka di atasnya?”. Demikianlah Pancasila lahir menjadi sebuah prinsip dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Kelahiran Pancasila
Bung Karno adalah tokoh yang pertama kali menggali, merumuskan dan mencetuskan Pancasila. Gagasan itu ia lontarkan pada 1 Juni 1945, tepat saat sidang BPUPKI di gedung Chuo Sangi In (Volksraad) Jakarta. Sidang yang dipimpin KRT Radjiman Widyodiningrat 29 Mei - 1 Juni 1945 kala itu membahas tentang dasar negara. Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1 Juni itulah kata 'Pancasila' muncul pertama kali di kalangan para pendiri bangsa.
Rapat BPUPKI itu secara khusus membahas tentang dasar negara. Selain Sukarno, tokoh-tokoh seperti Supomo dan Mohamad Yamin juga merumuskan dasar-dasar negara. Masing-masing lima poin. Sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
Sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Dasar Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan; 3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
Sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang beliau namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam pidato di hadapan para anggota BPUPKI, tercetuslah kata 'Pancasila' dari mulut Sukarno. "Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi," kata Sukarno waktu itu (Pidato Pancasila 1 Juni).
Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Pancasila", masih menurut beliau (Pidato Pancasila 1 Juni 1945) bilamana diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme; 2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”.
Masih menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak diperas kembali dinamakannya sebagai "Ekasila" (Satu Sila), yaitu sila: “Gotong-Royong”, ini merupakan upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan mengenai rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah berada dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan satu sama lainnya.
Kala itu para pengusul dasar negara kecuali Bung Karno hanya menyebut poin-poin usulan dasar negara, tidak menjawab pernyataan mendasar pimpinan sidang tentang filosofi yang akan dijadikan dasar berdirinya suatu negara merdeka. Sukarno dengan pidato panjang lebarnya yang sistematis dan rinci menjelaskan tentang konsep philosofische gronslag (dasar pemikiran) bangsa Indonesia yang akan berdiri yaitu Pancasila, yang kemudian diperasnya menjadi Trisila (Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan), kemudian Trisila diperasnya menjadi Ekasila (Gotongroyong).
Baik Pancasila 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 (Jakarta Charter) dan Pancasila 18 Agustus 1945 hakekatnya adalah sama. Pancasila mengalami metamorfosa yakni perubahan bentuk susunan kata/kalimat, hakikat dan substansinya tetaplah sama. Ibarat seekor kupu-kupu, perubahan bentuk dari telur, larva, pupa, hingga kupu-kupu dewasa tidak menghilangkan hakekat atau substansi dari kupu-kupu tersebut. Ketika ia berubah bentuk dari larva hingga kupu-kupu dewasa hakekatnya ia tetaplah kupu-kupu. Pancasila tetaplah dasar pemikiran filsafati yang digali oleh Bung Karno berangkat dari nilai-nilai luhur yang telah semenjak lama tertanam, tumbuh subur dan hidup di bumi tanah air Indonesia. Di sinilah peran penting Sukarno dalam kelahiran Pancasila bersama kolega-koleganya di BPUPKI, hingga dirinya dianggap penggali Pancasila.
Pemelintiran Sejarah
Ketika orde baru berkuasa, Suharto begitu alergi dengan segala sesuatu yang berbau Sukarno. Semangat desukarnoisasi (menyingkirkan apapun yang berbau Sukarno) masif terjadi, dari penghilangan peran Sukarno dalam sejarah hingga pelarangan buku-buku pemikiran Bung Karno untuk beredar di masyarakat. Termasuk juga pengekerdilan peran Sukarno sebagai pencetus Pancasila.
"Tahu saya, pidato Pancasila yang pertama kali Bung Karno bukan Yamin. Kalau dia lebih dulu tentu saya ingat itu ulangan. Yamin bicara hari pertama, saya kedua. Itulah kelicikan Yamin." - Bung Hatta (Sumber : "Uraian Pancasila", 1977)
Pada awal 1975 Suharto memerintahkan pembentukan panitia 5. Kakek bintang film Dian Sastrowardoyo, Sunario Sastrowardoyo, bersama mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta, A.G. Pringgodigdo, Ahmad Subardjo, dan A.A. Maramis duduk dalam Panitia Lima. Bung Hatta adalah ketua dari Panitia Lima itu.
“Ada beberapa kurang pengertian di dalam masyarakat tentang lahirnya Pancasila. Ditanyakan tentang hari lahir apakah benar 1 Juni 1945. Pertanyaan ini adalah dalam hubungan, karena dalam buku Profesor Yamin, Naskah Persiapan Penyusunan UUD 1945, Yamin mengucapkan pidato pada 29 Mei 1945 antara lain isinya berkaitan dengan Pancasila," kata Sunario di sidang Panitia Lima tanggal 10 Januari 1975, seperti dikutip dalam Pancasila Budaya Bangsa Indonesia (1993) yang disusun P.J. Suwarno.
“Tidak benar, Bung Yamin agak licik, sebenarnya pidato itu adalah yang diucapkan dalam pidato Panitia kecil. Bung Karno lah satu-satunya yang tegas-tegas mengucapkan philosofische gronslag (dasar filosofis berdirinya negara) untuk negara yang akan dibentuk, yaitu lima sila yang disebut Pancasila," kata Hatta.
Hasil kerja Panitia Lima itu pun diserahkan ke Presiden Soeharto pada 23 Juni 1975 di Bina Graha, lima tahun setelah Hari Pancasila 1 Juni ditiadakan atau 30 tahun setelah Pancasila lahir (sebelumnya peringatan Pancasila setiap 1 Juni dilarang semenjak 1 Juni 1970). Sementara Yamin sudah wafat pada 17 Oktober 1962 dan sudah jadi Pahlawan Nasional pula di zaman Sukarno.
Pidato Bung Karno yang diucapkan tanggal 1 Juni 1945 mendapat respon yang luar biasa dari para peserta sidang BPUPKI. Tepuk tangan gegap gempita berulang kali mengiringi pidato yang diucapkan tanpa teks dengan runut dan sistematis itu. Menurut Bung Hatta, tepuk tangan tersebut dianggap sebagai persetujuan.
Karena itulah, di hari yang sama, Panitia Kecil dibentuk untuk merumuskan kembali isi pidato Bung Karno. Panitia itu selanjutnya disebut Panitia Sembilan, diketuai oleh Bung Karno dengan anggota Moh. Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Kahar Moezakir, H. Agus Salim, Achmad Soebardjo, KH Wahid Hasjim, dan Moh. Yamin. 9 orang ini terdiri dari perwakilan kelompok Nasionalis dan kelompok Islam.
Sebagai ahli bahasa, Yamin ditugaskan untuk membuat preambule tentang intisari pidato Bung Karno yang dianggap terlalu panjang. Namun saat Bung Karno meminta hasilnya, naskah yang dibuat Yamin masih dianggap panitia terlalu panjang sehingga dibahas lagi bersama-sama dengan seluruh anggota Panitia 9. Pembahasan alot tersebut menghasilkan naskah preambule yang lebih singkat.
Berdasarkan kesaksian Bung Hatta, naskah itu diambil Yamin dan dimasukkan ke dalam bukunya yang kontroversial, yang berjudul "Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid I", terbit pertama kali tahun 1959.
Naskah pertama mirip dengan rumusan pidato Bung Karno 1 Juni 1945, naskah kedua mirip dengan rumusan Pancasila saat ini. Naskah pertama yang digelapkan Yamin terdiri dari 21 halaman, padahal naskah asli pidatonya (Yamin) tanggal 29 Mei 1945 hanya 2 halaman dan tidak berbicara tentang dasar negara. Buku Yamin tersebut akhirnya menuai polemik di senjakala kepemimpinan Bung Karno.
Di era selanjutnya, sejarawan militer Orde Baru Nugroho Notosusanto menjadikan buku Yamin sebagai sumber primer bagi pedoman resmi tentang Pancasila yang selanjutnya diajarkan di sekolah-sekolah.
Rumusan Yamin ini dianggap kontroversial karena menurut kesaksian lima pendiri bangsa Dr. M. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. AA Maramis, Prof. Mr. AG Pringgodigdo, dan Prof. Mr. Sunario yang diberi tugas Presiden Suharto di tahun 1975 untuk merumuskan pengertian Pancasila, mereka menyatakan menolak kebenaran pidato Yamin pada 29 Mei dan sekaligus menyatakan bahwa Sukarno adalah satu-satunya orang yang mengemukakan usulan lima dasar tersebut.
Kontroversi Moh. Yamin
Pada pertengahan 1950-an, Muhammad Yamin meminjam satu-satunya salinan risalah rapat BPUPKI di tanah air (salinan lain yang disimpan A.G. Pringgodigdo ada di negeri Belanda) yang disimpan A.K. Pringgodigdo untuk kepentingan riset tentang perumusan UUD 1945. Dari dokumen ini Yamin menulis 3 jilid buku Naskah Persiapan UUD 1945, Buku Yamin ini menjadi sangat strategis karena Yamin tidak mengembalikan salinan notulensi yang ia pinjam dari A.G. Pringgodigdo. Sampai pertengahan 1990-an, buku Yamin menjadi satu-satunya acuan. Dari sinilah muncul polemik Hari Lahir Pancasila.
Nugroho Notosusanto, sejarawan pendiri Pusat Sejarah ABRI yang pro Suharto, menerbitkan buku Naskah Proklamasi yang "Otentik" dan Rumusan Pancasila yang "Otentik" di tahun 1978. Dari tiga jilid buku Yamin itulah Nugroho menyusun argumentasinya. Ia membantah Sukarno sebagai penemu Pancasila. Argumentasi inilah yang dibantah para pendiri bangsa, dengan Muhammadh Hatta sebagai pembantah terkerasnya.
Kontroversi Yamin yang paling ramai dibicarakan adalah perihal bukunya, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang terbit pada 1959. Dalam buku itu, dia mengklaim telah menyampaikan pidato pada 29 Mei 1945 tentang Rancangan UUD yang sistematik dan isinya mirip dengan UUD 1945. Kita tahu Bung Hatta berang atas "bualan" itu.
Patut disayangkan, Orde Baru mengambil "keuntungan" atas klaim sepihak Yamin. Dalam semangat mengerdilkan peran Sukarno, tak lama setelah jatuhnya penguasa Orde Lama itu, Soeharto menyatakan Yaminlah yang berjasa membuat UUD 1945. Klaim Orde Baru itu terekam dalam buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara karangan Nugroho Notosusanto, sejarawan cum anggota militer yang luas dipercaya punya andil dalam "mengaburkan" sejarah Indonesia.
Polemik RUU HIP
Rancangan Undang-Undang Halauan Ideologi Pancasila menjadi kontroversi akhir-akhir ini. Merujuk draft RUU HIP pada laman resmi DPR, pasal 7 ayat (1) berbunyi, "Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan".
Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa, "Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan". Sementara ayat (3) berbunyi, "Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong"
Polemik muncul dengan tidak adanya pencantuman TAP MPR XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan Marxisme Komunisme di konsideran RUU HIP yang dituduh bisa memicu kebangkitan Komunisme. Padahal tidaklah demikian, menurut Prof. Mahfud MD, TAP MPR XXV tentang Pelarangan Komunisme tidak bisa dicabut bahkan oleh MPR saat ini sehingga dicantumkan atau tidak dalam konsideran RUU HIP, TAP MPR Pelarangan Marxisme Komunisme tersebut masihlah berlaku. Sehingga sampai kapanpun komunisme tetap terlarang.
Selain itu Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 terkait ciri pokok dan kristalisasi Pancasila dianggap sebagai "mengganti" dasar negara. Padahal tidaklah demikian, mana mungkin sebuah RUU yang akan menjadi sekelas UU bisa menggantikan dasar negara (philosofische gronslag) yakni Pancasila yang telah ditetapkan menjadi sumber hukum, sila sila nya tercantum dalam konstitusi negara dan telah menjadi dasar hukum yakni UUD 1945. Tidak mungkin.
Pasal 7 RUU HIP ini juga menimbulkan polemik. Beberapa ormas Islam juga khawatir pemakaian frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" akan membuat Indonesia menjadi sekuler. Frasa itu dianggap mengesampingkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.
Frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" itu awalnya muncul dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Setelah ia menjabarkan empat sila yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan sosial, maka sampailah ia menjelaskan sila kelima.
"Prinsip Ketuhanan!" seru Sukarno. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, lanjutnya, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Ia menyebut bahwa yang beragama Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang beragama Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, dan orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab agamanya.
"Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme-agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!" sebutnya di Pidato Pancasila 1 Juni 1945.
Dalam mengamalkan dan menjalankan agama, sambung Sukarno, juga hendaknya secara berkeadaban. Yakni dengan saling menghormati antar agama. Ia mencontohkan bahwa Nabi Muhammad Saw dan Nabi Isa juga telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain.
"Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” jelasnya.
Seturut dengan apa yang dikatakan Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menyebut bahwa frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" dipakai Sukarno sebagai semangat untuk mengembangkan asas Ketuhanan yang Maha Esa. Sama halnya dengan frasa "Ketuhanan yang berkeadaban".
Dengan ungkapan tersebut, bisa dipahami bahwa dalam pandangan Sukarno, asas Ketuhanan yang Maha Esa itu, dalam relasi politis-muamalahnya di kehidupan sosial sehari hari, hendaknya dikembangkan dengan semangat Ketuhanan yang berkebudayaan. Yakni bertuhan tanpa egoisme agama, saling menghormati antar pemeluk agama satu sama lain, dan mewarnai praktik kehidupan berbangsa & bernegara sehari hari dengan semangat spiritual keTuhanan sesuai nilai nilai moral universal agama.
Dalam tulisannya "Ketuhanan yang Berkebudayaan" dalam buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila, Yudi Latif menyebut bahwa asas Ketuhanan telah melalui perdebatan panjang para pendiri bangsa. Yang kemudian memunculkan mufakat pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila, jelas Yudi Latif, menyerupai konsepsi agama sipil atau civic religion yang melibatkan nilai-nilai moral universal agama. Namun, juga secara jelas dibedakan dari agama.
Nilai moral Ketuhanan menjadi landasan pengelolaan kehidupan publik-politik dalam masyarakat multikultur-multiagama. Yang mana tidak menjadikan salah satu agama atau unsur keagamaan mendikte negara. Tidak boleh keyakinan agama tertentu digunakan untuk mendikte negara.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila juga merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan. Ketuhanan sebagai landasan moral bagi kehidupan publik politik dan bernegara.
"Dalam kerangka pencarian titik-temu ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat. Sila pertama Pancasila (sebagai konsensus publik) jelas-jelas menghendaki agar nilai-nilai Ketuhanan mendasari kehidupan publik-politik," tulis Yudi Latif.
Namun, Pancasila tidak menghendaki perwujudan negara agama. Karena hal itu akan memunculkan tirani keagamaan yang bertentangan dengan pluralitas kebangsaan serta menjadikan penganut agama dan kepercayaan lain sebagai warga negara kelas dua.
Lebih lanjut, perihal kebebasan memeluk agama, maupun menganut kepercayaan juga dijamin kebebasannya. "Lebih dari itu, kepedulian Pancasila lebih tertuju pada moralitas publik, tidak mencampuri moralitas (keyakinan) pribadi seseorang," jelasnya.
Samar-samar dan pemahaman yang tidak utuh dalam melihat hubungan antara agama, Pancasila, dan negara kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai masalah. Misalnya mengenai kecemasan bahwa Pancasila bisa menggantikan peran agama.
Dalam konteks ini, Sukarno pernah berpidato pada peringatan lahirnya Pancasila di Istana Negara pada 5 Juni 1958. Pada kesempatan itu, Sukarno membantah pernyataan bahwa Pancasila merupakan perasan dari nilai-nilai Buddhisme. Demikian pula Bung Karno juga tidak ingin Pancasila dipertentangkan dengan agama.
"Saya minta janganlah menaruhkan Pancasila ini secara antagonistis terhadap kepada misalnya agama Islam, dan janganlah pula meletakkan Pancasila ini secara congruentie yang sama dengan misalnya agama Buddha, janganlah ditaruhkan secara antagonistis kepada agama Islam, jangan ditaruh secara congruentie kepada Agama Buddha. Jangan!"
Mari Hentikan Perdebatan
Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Yakni bertuhan tanpa egoisme agama, saling menghormati antar pemeluk agama satu sama lain, mewarnai praktik kehidupan berbangsa & bernegara sehari hari dengan semangat ketuhanan sesuai nilai nilai moral universal agama.
Dalam konteks ketuhanan yang berkebudayaan. Budaya adalah akal budi, cipta, rasa dan karsa. Menurut Soejono Sukanto (1982) ada 7 jenis/macam unsur budaya dalam kehidupan manusia meliputi : 1. Bahasa. 2. Sistem mata pencaharian/sistem ekonomi 3. sistem kemasyarakatan (organisasi, hukum dll.) 4. alat & perlengkapan hidup (senjata, rumah, tempat ibadah, alat-alat, kendaraan, dll.) 5. Kesenian 6. Sistem pengetahuan 7. Religi
Semua aspek kehidupan manusia pasti bersinggungan dengan budaya, jangan menafsirkan secara sempit bahwa budaya hanyalah adat istiadat atau seni semata. Lebih dari itu. Bagaimana bisa manusia bisa beragama tanpa budaya? Karena jelas budaya ada 7 unsur. Jangan memberikan tafsir yang absurd dan ngawur terkait frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan".
Baca Juga Spirit Kelahiran Bung Karno, Berdikari Dalam Bidang Ekonomi Wujud Nyata Kemandirian Bangsa.
Bung Karno dalam pidato Pancasila 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI memeras Pancasila menjadi Trisila (Sosiodemokrasi, Sosionasionalisme, dan Ketuhanan yang berkebudayaan), Trisila kemudian diperasnya menjadi Ekasila (Gotong Royong).
Pancasila Trisila Ekasila tersebut hakekatnya adalah sama. Konsepsi pikiran yang lahir dari sistem belief yang bersumber dari pengalaman kehidupan bangsa Indonesia, diperas dan diambil intisarinya, saling menjiwai. Tetapi hari ini ide itu diprovokasi dan dibentur benturkan karena perselisihan kepentingan politik elektoral di parlemen.
Ontologi filsafat Pancasila adalah bagaimana perbedaan dapat disatukan yaitu dengan "mencari kesepakatan", konsep inklusif yang dapat diterima semua golongan, itulah yang harus ditawarkan dan disepakati.
Maka yang dicari adalah kesepakatan bersama, "nilai nilainya" yang diterjemahkan dalam pasal, jadi tidak harus secara eksplisit Pancasila, Trisila, Ekasila dicantumkan dalam undang undang (RUU HIP) Halauan Ideologi Pancasila, karena bisa memunculkan asumsi dan mengindikasikan membawa kepentingan salah satu golongan. Tidak perlu dicantumkan secara eksplisit yang penting adalah nilai nilai substansinya.
Itu yang hari ini digoreng oleh banyak pihak seolah olah Pancasila mau diubah, isu kemudian digoreng oleh kelompok-kelompok yang memiliki dendam politik dan anti pemerintah. Mengkritik itu boleh yang dilarang adalah fitnah. Mari mengkritik tapi tetap dibarengi dengan semangat untuk membangun dan memperbaiki.
Jangan menggiring opini seolah olah Pancasila mau diganti. Mengadu domba dan memecah belah rakyat, politik identitas berbahaya dan beresiko bagi persatuan nasional. Jangan mengorbankan kerukunan dan persatuan nasional hanya untuk kepentingan politik elektoral. Mari kita menjadi masyarakat cerdas yang tidak mudah terprovokasi. Apalagi oleh akun-akun medsos ngawur yang suka mengadu domba. Tetaplah kritis dan berhati hati, tidak mudah terpancing oleh isu provokasi. Salam persatuan.
Baca Juga Islam Sontoloyo Era Masa Kini
Sumber Referensi
- Hatta, Mohammad, Pengertian Pancasila. Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
- Hatta, Mohammad, Sekitar Proklamasi. Djakarta: Tintamas, 1970.
- Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah.2003. Ebook.
- Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Pengarang: Profesor Mr H Mohammad Yamin Penerbit: Sekretariat Negara; jilid pertama, tahun 1959; jilid kedua, 1960, jilid ketiga, 1960
- Notosutarjo, Akhmad. 1981. Pengakuan Prof. Mr. H. Muhd. Yamin, Bung Karno Penggali Pancasila, 1 Juni 1945 Lahirnya Pancasila. Lembaga Penggali dan Penghimpun Sejarah Revolusi Indonesia.
- Saafroedin bahar dan Ananda B Kusuma, Nanie Hudawati. 1995. Pidato Bung Karno 1 juni 1945 tentang lahirnya Pancasila, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia
- Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
- Setiawan, Andri. 2020. Tentang Ketuhanan Yang Berkebudayaan. https://historia.id/amp/politik/articles/tentang-ketuhanan-yang-berkebudayaan-P9dy5. Diakses 28 Juni 2020 pukul 21.00
- Soekarno. 1945. Pidato Pancasila 1 Juni
- Soekarno. 2005. Di bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Yayasan Bung Karno.
- Soerjono Soekamto. 1982. Sosiologi (Suatu Pengantar). Raja Grafindo Persada: Jakarta.
- Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka