Filosofi Ayem Tentrem/narasiinspirasi.com |
Filosofi Ayem Tentrem Mengejar Ketenteraman dan Kedamaian
oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Tanah Masih Basah, 23 Februari 2020)
Manusia akan sulit untuk mencapai kondisi hati yang tenteram damai ketika selalu mengutamakan materi dan duniawi. Lebih mengutamakan mengejar keinginan daripada kebutuhan. Tidak tulus dan ikhlas dalam menjalani kehidupan, tidak lapang dada, sempit hati serta sulit memaafkan. Hati sulit merasa puas, selalu dipenuhi oleh keinginan-keinginan yang belum didapatkan. Harapan yang tak terwujud, mimpi yang tak terkejar, memiliki banyak hal namun selalu merasa kurang.
Keserakahan dan ketamakan menjadikanmu tidak pernah merasa cukup. Sedangkan egoisme, kesombongan, merasa paling benar, selalu ingin menang, menjadikan manusia sulit untuk menemukan persetujuan dan kebaikan dalam diri orang lain. Hati diselimuti curiga (tidak bisa menerima perbedaan, mudah marah dan memusuhi) sehingga bawaannya selalu kesal dan marah. Kadang kita harus berhenti sejenak, menoleh kebelakang dan bersyukur. Bersyukurlah dan berbahagialah saat ini mereka yang hatinya diliputi perasaan damai dan tentram.
Mburu : Mengejar, berburu, mencari,
Ayēm : damai, ketentraman
Baca Juga Bertapa dan Bersemedi Makna Filosofis Tapa Mendhem dan Tapa Ngeli
Baca Juga Bertapa dan Bersemedi Makna Filosofis Tapa Mendhem dan Tapa Ngeli
Dalam filosofi Jawa, mburu ayem (mengejar damai atau ketentraman) lebih penting daripada sekedar mburu seneng (mengejar kesenangan) dan mburu ndonya (mengejar duniawi). Dikatakan "aja ndonga njaluk seneng, yen tinemu susah supaya ora kaget, luwih becik njaluk ayem" Yang artinya, jangan berdoa untuk memohon kebahagiaan; ataupun berdoa untuk memohon kesenangan, supaya tidak kaget dan tidak terkejut kalau misal suatu saat menemui kesedihan/musibah, sehingga mampu mengatasi, serta tidak mudah putus asa, maka lebih baik kita memohon diberikan ayem (ketentraman).
Ayem seringkali diasosiasikan bersama dengan kata "tentrem, marem dan kalem" tentram/damai, puas/cukup dan kalem/sabar/tenang. Dimana semuanya berakhir dengan huruf "m" (konsonan) yang jika diucapkan maka bibir kita akan mingkêm atau bibir tertutup rapat untuk melafalkannya dengan sempurna.
Hal ini berkaitan dengan makna "ayem" itu sendiri. Maksudnya kalau sudah ayem berarti hati maupun pikiran semua dalam keadaan tenang, damai, sudah 'mingkem', tidak ribut mencari yang tidak-tidak (yang berlebihan), tidak ribut mengomentari dan tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu.
Filosofi Ayem Tentrem Mengejar Ketenteraman dan Kedamaian/narasiinspirasi.com |
Jaman sekarang, manusia akan lebih sulit untuk mencapai kondisi ayem dan tentrem. Perubahan jaman serta perubahan sistem tata pola kehidupan yang kapitalistik, mendorong semua orang untuk berlomba-lomba mengejar materi dan status sosial demi tercapainya social achievement. Capaian keberhasilan dinilai dari keberlimpahan materi. Kehidupan selalu diselimuti oleh rasa ketakutan dan kekhawatiran. Ketakutan akan tidak terpenuhinya kebutuhan, ketakutan akan tidak tercapainya keinginan.
Dunia menjadi semakin keras sehingga hati sulit merasa puas. Hati akan selalu diselimuti oleh kekhawatiran, kekhawatiran dengan keinginan-keinginan yang belum didapatkan. Harapan yang tidak terwujud, mimpi yang tak terkejar, memiliki banyak hal namun masih selalu merasa kurang. Merasa sulit untuk menemukan persetujuan dan kebaikan dalam diri orang lain (tidak bisa menerima perbedaan, mudah memusuhi) sehingga bawaannya selalu kesal, marah, uring-uringan. Hanya dengan terus mengingat Tuhan maka hati akan tenteram.
Dahulu, definisi ayem dimaknai sebagai rasa yang hanya dicapai ketika seseorang sudah dalam usia lanjut. Orang tua yang sudah mengalami banyak hal dalam kehidupan. Memiliki banyak keturunan, memiliki banyak warisan untuk ditinggalkan. Melakukan banyak amal dan kebaikan sehingga waktu yang tersisa dalam hidupnya, tinggal difokuskan untuk "golek sangu ngadhep sing kuwasa" mencari bekal untuk menghadap Tuhan. Semua kebutuhan hidup dan materi tercukupi.
Tetapi apa kita harus sudah memiliki 'segalanya' dulu baru bisa merasa ayem dan tenteram? Kalau belum tercapai standar 'memiliki segalanya' apakah berarti selamanya tidak akan bisa merasa ayem?
Baca Juga Mistik Kejawen Wejangan Tentang Ngelmu Kasampurnan
Baca Juga Mistik Kejawen Wejangan Tentang Ngelmu Kasampurnan
Bisa. Kuncinya adalah bersyukur "kuncine syukur". Belajar mensyukuri nikmat, belajar lebih ikhlas, belajar berlapang dada, belajar memaafkan. Belajar berpikir positif, seperti daun yang gugur jatuh di aliran sungai, ia selalu tulus mengikuti dan menyatu bersama aliran air. Menyatu dengan "aliran alam dan kehendak Tuhan". Berpasrah dan berserah dirilah kepada Tuhan Yang Maha Welas Asih dan Maha Penyayang, kosongkan ruang hatimu sisakanlah untuk selalu mengingat-Nya.
Ingat, gedhe durung mesthi cukup, akeh durung mesthi turah, sithik bisa uga malah nyukupi, kabeh gumantung ing atine dhewe-dhewe. Besar belum tentu cukup, banyak belum tentu sisa, sedikit dan tidak berlebihan justru bisa mencukupi. Semua tergantung isi hati kita, mengelola emosi dan perasaan, membunuh keserakahan. Tergantung pula bagaimana kita memaknai hidup. Bersyukur, tenang dan bersabar. Demikian semoga bermanfaat, rahayu!
Narasi Inspirasi media terpercaya yang menyajikan informasi menarik seputar dunia Sastra, Sejarah, Sosial Politik, Pertanian, Peternakan dan Alam Pikir Manusia.
Narasi Inspirasi ©2020 narasiinspirasi.com