Makna Janma Limpad Seprapat Tamat/narasiinspirasi.com |
Oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Malang, 05 September 2020)
Pernahkah kamu mendengar ungkapan Janma Limpad Seprapat Tamat dan Tanggap Ing Sasmita? Ungkapan ini tentu saja bukan hal asing bagi sebagian orang Jawa, biasanya ungkapan ini sering kita dengar dalam pidato ataupun dalam upacara-upacara resmi tertentu yang sering dibawakan oleh MC atau pembawa acara. Dalang saat pewayangan dan pembawa acara (MC) pernikahan adat Jawa biasanya seringkali mengucapkan kalimat tersebut.
Namun seringkali kita tidak memahami arti makna ungkapan Janma Limpad Seprapat Tamat dan Tanggap Ing Sasmita. Baiklah mari kita kupas satu persatu supaya lebih memahami.
Janma Limpad Seprapat Tamat
Janma : manusia, orang
Limpad : pintar
Seprapat tamat : dari hal yang sedikit saja/belum keseluruhan, hanya (seprapat/seperempat) tapi sudah mengerti maksudnya (tamat)
Ungkapan ini termasuk "basa rinengga" (bahasa yang berhias) yaitu ungkapan dengan kalimat atau kata-kata yang disusun dengan indah menggunakan kosakata bahasa Sanskerta Jawa kuno yang disusun agar terdengar indah sekaligus memiliki kedalaman makna. Contoh: bahasa dalang dalam pewayangan atau bahasa MC (pambiwara) dalam adat pernikahan Jawa tradisional.
Janma limpad seprapat tamat memiliki makna bahwa orang yang "pintar", meski baru mengetahui sekedar sedikit tapi ia sudah mengerti maksud, arah pembicaraan dan juga tujuan orang lain.
Seprapat (seperempat) dimaknai sebagai kondisi ketika yang diketahui hanya sedikit, tidak utuh atau tidak genap sebagai satu kesatuan tapi sudah bisa mengerti dan memahami.
Ekspresi, mimik wajah, tindak-tanduk, sikap, bahasa, dan juga ucapan dari orang lain ketika dikombinasikan dengan pemahaman yang sedikit tadi, ketika direnungkan secara mendalam bisa digunakan untuk menebak dan juga menarik kesimpulan mengenai tujuan, maksud, kehendak, arah pembicaraan atau persoalan daripada orang tersebut. Pemahaman yang sedikit ketika dikombinasikan dengan analisis yang teliti bisa digunakan untuk menebak tujuan, kehendak, bahkan maksud dari seseorang.
Berbeda dengan Janma Limpad Seprapat Tamat. Tanggap ing sasmita bila diuraikan akan bermakna sebagai berikut,
Tanggap Ing Sasmita/narasiinspirasi.com |
Tanggap Ing Sasmita
Tanggap : tanggap, peka, menangkap
Ing : pada
Sasmita : tanda tanda, informasi simbolis
Tanggap ing sasmita dimaknai sebagai kemampuan dan kepekaan diatas rata-rata seseorang dalam mengartikan sebuah tanda tanda simbolis yang biasanya berupa firasat dan hal-hal diluar kewajaran, yang orang "biasa" pada umumnya akan cenderung mengabaikannya begitu saja.
Tanggap ing sasmita juga bisa dimaknai sebagai sebuah kepekaan dalam melihat situasi dan kondisi yang "tersirat" sehingga cepat dalam bertindak. Tentu saja tidak gegabah dalam bertindak karena merasa sudah "mengetahui" melainkan harus bertindak dengan berhati hati disertai analisis yang jernih.
Meski begitu sifat janma limpad seprapat tamat dan tanggap ing sasmita tidak serta merta bisa dimiliki oleh setiap orang. Seseorang tetaplah harus berhati hati. Ketika diri merasa sudah mengerti dan menganggap apa yang ia "mengerti" tersebut adalah satu-satunya "kebenaran" yang pasti terjadi, dan mengabaikan "kebenaran" yang lain bisa akan menjadi hal yang berbahaya.
Padahal bisa jadi "kebenaran" yang diyakini tersebut hanya asumsi, penafsiran dan kesimpulan yang sifatnya masih pribadi belaka. Karena masih dalam tahap "kebenaran" pribadi yang subjektif, seseorang tetaplah harus memperhatkan faktor-faktor yang lain. Maka dari itu tidak bisa begitu saja berasumsi dan asal menafsirkan.
Lalu apa perilaku “Tanggap ing sasmita” dalam budaya Jawa itu salah? Atau sudah bukan jamannya lagi?. Jawabnya “Samasekali tidak salah. Kalau ada yang salah, maka yang salah adalah manusianya. Supaya orang bisa “Tanggap ing sasmita” syaratnya berat. Syarat tersebut dapat kita baca dalam Serat Wulangreh, yang ditulis oleh Sri Pakubuwana IV, pada Pupuh Kinanti bait pertama:
Padha gulangen ing kalbu; Ing sasmita amrih lantip; Aja pijer mangan nendra; Kaprawiran den kaesti; Pesunen sariranira sudanen dhahar lan guling”
Supaya menjadi “Lantip” (menguasai, tajam) dalam “Sasmita” maka kalbu dan hati harus di”gulang” (dilatih). Kita harus berkonsentrasi pada keperwiraan (jiwa ksatria yang bersih, tulus mengabdi tanpa pamrih kepada Yang Maha Kuasa) dan jangan hanya “Mangan” (makan) dan “nendra” (tidur). Tapi tetap mengupayakan kebaikan dan bertirakat dengan cara mengurangi makan juga tidur. Apakah pada jaman ini masih banyak orang yang seperti ini? Allahuallam.
Sumber Referensi :
Iwan Muljono (Tanggap Ing Sasmita)
Kahaning (Line)
Sri Pakubuwana IV. Serat Wulangreh (Pupuh Kinanthi).