Hoax & Propaganda Era Post Truth
oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Malam Yang Teduh di Bawah Pohon, Rabu 24 April 2019)
narasiinspirasi.com - Era Post truth atau era pasca kebenaran bisa disebut juga (era kebohongan) dimana kebenaran emosional lebih diutamakan dari pada objective truth. Gejala ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga dunia. Misalnya Brexit di Eropa, Pemilu Brazil mengangkat tema kebangkitan komunisme, gaya politik Donald Trump dll. Kebohongan yang diulang ulang akhirnya dianggap menjadi kebenaran begitu kata Mbah Goebels Menteri Propaganda Nazi.
Politisi dalam kaitanya dengan era post truth, menggunakan strategy poisoning the water alias memperkeruh suasana untuk mengambil keuntungan. Misalnya yang sering terjadi adalah dengan menyerang lembaga/institusi produsen penyedia data atau informasi. Bertujuan mendelegitimasi lembaga sekaligus memunculkan ketidakpercayaan dan ketakutan. Di Amerika Serikat Donald Trump dalam kampanye politiknya di tahun 2016 menyerang BPS Amerika dan menuduhnya bohong terkait data penurunan kemiskinan di Era Obama, padahal angka kemiskinan memang menurun. Menyerang media massa dengan mengatakan jangan menonton CNN karena CNN itu fake news, tapi tontonlah Fox News (Chanel TV pendukung Partai Republik) partai utama penyokong Donald Trump.
Selain itu Trump juga menyerang KPU Amerika dengan mengatakan KPU Amerika telah berbuat curang, dan menyeru publik Amerika untuk tidak mempercayai KPU kecuali dia yang menang. Mengangkat isu terorisme Islam yang dalam kampanyenya kemudian memunculkan kebijakan melarang passport 7 negara Islam. Mengangkat isu kriminalitas Amerika selatan sehingga perbatasan dengan Meksiko harus dibangun tembok. Mengangkat isu ancaman kebangkitan ekonomi China dll. Terbukti efektif mempengaruhi mindset berpikir publik Amerika sehingga membuatnya menang pilpres.
Politisi menggunakan ketakutan untuk menghegemoni masyarakat, yaitu dengan menyebar hoax yang tidak masuk akal, tapi dipercayai sebagai kebenaran. Hoax di era post truth menarget bagian otak manusia yang bertanggung jawab akan ketakutan dan keterancaman. Karena mereka paham ketika bagian otak manusia yang bertanggung jawab akan ketakutan diserang, maka manusia tidak lagi bisa berpikir logis. Manusia pada akhirnya mempercayai kebohongan-kebohongan yang sifatnya tidak logis sehingga mudah dimanipulasi dan digerakan sesuai kepentingan.
Misalnya jika Jokowi menang Indonesia dijajah China, azan dilarang, PKI bangkit, Jokowi kafir, tuduhan penistaan agama, demo berjilid-jilid yang diklaim membela agama tapi sebenarnya bermotif politik dst. Banyak hoax yang tidak logis tapi yang mengherankan banyak juga yang mempercayai dan termakan berita bohong. Rocky Gerung mengatakan hoax hanya untuk orang-orang dungu, faktanya universitas-universitas terbaik di dunia 7 diantaranya ada di Amerika Serikat, dan terbukti gaya politik Trump efektif. Di Indonesia kalangan tokoh nasional cerdas terbukti malah tertipu dan percaya nenek-nenek yang mengaku dirinya dipukuli ternyata operasi plastik.
Jika zaman dahulu politisi berkampanye menjual harapan tapi hari ini politisi berkampanye dengan menjual ketakutan. Media sosial penting digunakan sebagai sarana penyebaran hoax karena hari ini medsos tidak hanya sebagai tempat berbagi informasi. Melainkan juga sebagai tempat berbagi ekspresi dan emosi. Sekaligus sarana efektif penggerak masa dan kekuatan people power.
People power itu kurang tepat dan berlebihan jika dilakukan ketika sistem hukum dan sistem pemilu demokratis masih berjalan dengan baik di Indonesia begitu kata Hamdan Zulva eks ketua MK. Apabila hal itu sampai terjadi sangat berbahaya bukan mustahil perpecahan akan terjadi dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Mari berjiwa besar dalam kontestasi menang kalah itu hal biasa, jangan turut memperkeruh suasana dengan provokasi dan mendelegitimasi lembaga negara yang menyebabkan pertikaian juga krisis kepercayaan.
Baca Juga Islam Sontoloyo Era Masa Kini
Baca Juga Islam Sontoloyo Era Masa Kini