Oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Tulungagung Tengah Malam, 22 Jan 2019)
Bulan muncul dibalik pucuk dedaunan
Udara dingin perlahan menenggelamkan jiwa dan dadaku
Sengaja kutuang pelan-pelan
wedang ku malam ini
Kuteguk pelan bersama dingin kabut
udara malam
Lalu dengan apalagi sang malam akan
mengairi jiwa-jiwa manusia yang kering
Selain daripada secangkir kopi dan kepulan asap tembakau?
Jangan kau tolak pahit kopi yang kau seduh sendiri
Karena apa yang kita buat adalah apa yang harus kita nikmati
Pahitnya kopi mengajarkan ku
Yang hitam belum tentu buruk
Hitam belum tentu kotor
Hitam belum tentu tidak suci
Yang pahit tidak melulu harus dilupakan, bahkan disingkirkan
Justru setelah pahit manusia akan memahami makna manis
Lantas apakah yang selalu dirahasiakan oleh kesunyian?
Yaitu secangkir kopi,
yang menyembunyikan rasa pahitnya dipangkal lidah yang terluka
Sesungguhnya begitulah pengajaran dari alam semesta
Baca Juga
Puisi Penghianatan dan Sajak Patah Hati: Mungkin Semua Butuh Jeda
Puisi Ditolak Cinta: Pelangi Diantara Hujan
Puisi Alam: Tertawalah dan Campakkan Kepedihanmu
Puisi Sedih: Sepertiga Malam
Puisi Pendek Perenungan: Dialog Rumput Kering
Puisi Malam: Malam di Ujung Kabut
Puisi Filsafati: Langit Menaungi Ketelanjangan
yang menyembunyikan rasa pahitnya dipangkal lidah yang terluka
Sesungguhnya begitulah pengajaran dari alam semesta
Baca Juga
Puisi Penghianatan dan Sajak Patah Hati: Mungkin Semua Butuh Jeda
Puisi Ditolak Cinta: Pelangi Diantara Hujan
Puisi Alam: Tertawalah dan Campakkan Kepedihanmu
Puisi Sedih: Sepertiga Malam
Puisi Pendek Perenungan: Dialog Rumput Kering
Puisi Malam: Malam di Ujung Kabut
Puisi Filsafati: Langit Menaungi Ketelanjangan