Pecinta Yang Hilang Cintanya
Oleh
Fajar RW.
(Kabut dikala Hujan, 11 Desember 2018)
Pasang surut telah terlewati, ratusan purnama silih berganti. Ribuan kali matahari telah beredar dan tenggelam bersama hangatnya yang perlahan memudar. Tidak kah engkau mengerti? Masih ada yang tetap sama, yaitu caraku menyayangi dan mengasihi. Seperti janjiku beberapa tahun silam engkau tetaplah menjadi inspirasi.
Di bawah rimbun pohon diantara dedaunan yang terpaksa gugur oleh angin. Malam kala itu begitu dingin, hujan baru saja berhenti, meninggalkan ingatan yang begitu membekas hingga kini. Amarah dan kecewa sesuatu yang hanya menjadi angin lalu. Sebenarnya itulah respon manusiawi yang muncul dari perasaan seseorang yang halus lagi tulus.
Entahlah, kau pasti sudah melupakannya, karena mengapa pula mengingat sesuatu yang tidak perlu. Engkau telah berbahagia dengan jalanmu. Tapi tidak bagiku, malam berkabut kala itu begitu membekas seperti ukiran batu cadas. Ingatan yang mungkin akan kekal membatu hingga akhir waktu.
Ketahuilah jiwaku masihlah sama. Jiwa-jiwa yang berbahagia karena kasih dan mengasihi. Meskipun manusia sering kali menempatkan kasih pada wadah yang salah. Faktanya bukan bahagia yang kau terima, justru bukan damai yang kau dapati. Perasaan dan kasih sayangmu hanya kesementaraan yang fana. Karena tidak kau letakkan sebagaimana mestinya.
Tipuanmu memang bagus dan mengelabuhi. Ucapanmu juga berhasil memperdayai. Tapi tidak halnya dengan kebenaran, dia akan berkembang, tumbuh dan menemukan jalan. Tipuan, penolakan dan penghianatan akan berbuah kehancuran. Begitulah ketika mencurahkan kasih pada gelas yang salah. Itupun tidak lain dan tidak bukan karena masih silau dan tergiur dengan gelas yang lebih bening, kaca yang sebetulnya rapuh. Ya begitulah yang namanya prasangka.
Aku pun turut prihatin tapi bagaimana pula, kaulah yang meniti takdirmu. Menjalani apa yang telah kau pilih dan apa yang telah kau yakini. Aku tidak mendendam, tidak pula membenci. Aku tidaklah sejahat itu, tapi aku tetap selalu mengingat. Siapalah aku, hanya seorang pecinta yang patah cintanya.
Tapi ketahuilah tak perlu kau mengingat banyak hal tentangku. Aku bukan siapa-siapa hanya seorang yang pandai mengenang. Cukup kau ingat saja bahwa dulu ada seorang manusia bodoh miskin yang benar-benar menggilai dan merindui mu. Sekarangpun masih lah sama. Hanya saja mungkin dengan cara yang berbeda. Cukup dengan mendoa saja, semoga semua senatiasa berbahagia.
Menjalani takdir masing-masing. Menjalani pilihan masing-masing. Biarlah engkau tumbuh dengan cintamu. Biarlah aku tetap menjadi pecinta yang kehilangan cintanya. Karena sesuatu yang terlihat buruk belum tentu buruk, yang baik belum tentu baik. Tuhan Maha Membolak balikan hati. Aku tetaplah burung malam yang terbang sendirian. Melintasi mendung daratan serta lautan, mengamati gerak-gerik dari kejauhan.
Begitulah tunai sudah janji bakti yang tak pernah engkau ketahui wahai inspirasi. Wahai semesta, jagat raya dan seluruh isinya, saksikanlah, bersama luruhnya daun ini senantiasa kupanjatkan doa-doa tulus dari hamba seorang yang lemah, yang hatinya masih penuh prasangka, jiwa nista, jiwa yang dalam lisan ikhlasnya masih disusupi oleh pamrih. Jiwa yang masih bangga akan sanjungan puja dan puji. Aku mohon ampun pada Mu dan jadikanlah kami senantiasa orang yang mawas diri dan berbesar hati. Bebaskanlah kami dari semua gelisah dan damaikan kami pada setiap perasaan yang ragu-ragu. Matikanlah jiwaku, jasad juga batinku dalam teduh naungan welas asihmu...
Dan demikianlah benih yang aku tanamkan menunggu musim untuk bersemi. Kelak tulisan ini hanya akan ditemukan oleh para pencari yaitu orang yang penasaran denganku, merinduiku, mengasihiku. Ketika hari itu telah tiba aku sedang mengamatimu dengan rasa yang asing lagi penasaran. Semoga berbahagia, damai dalam welas asih Tuhan Yang Maha Kuasa atas alam semesta dan jagat raya.
Baca Juga
Puisi Pendek: Titik Temu
Puisi Cinta: Pecinta Yang Hilang Cintanya
Puisi Ketuhanan: Pendakian ke Alam Imajinal
Puisi Perjalanan: Elysia Seorang Avonturir
Puisi Cinta Romantis: Untukmu Kekasih
Puisi Perjalanan: Segelas Tuak di Atas Gunung
Narasi Sajak Kekecewaan: Bunga Itu Suatu Saat Akan Layu dan Mati