oleh
Fajar R. Wirasandjaya
(Malam Dingin, 10 Juni 2017)
Mengalirlah gemericik tirta amerta
Airnya jernih kemilau bak permata
Teratai merah berembun bening,
Kuncupnya perlahan mekar di kala hening
Dibawahnya Elysia meringkuk seorang diri
Di saksikan dewandaru yang hampir mati
Ia mengamati rintik hujan tanpa pelangi
Sinar matanya gelisah menatap pasrah
Menahan rindu yang makin membuat resah
Wajah sungai memantul semu tak terkendali
Elysia sayap malam menatap ragu tak mengenali,
Berdiri keheranan dengan sedih ia mengamati
Sinar matanya gelisah menatap pasrah
Menahan rindu yang makin membuat resah
Wajah sungai memantul semu tak terkendali
Elysia sayap malam menatap ragu tak mengenali,
Berdiri keheranan dengan sedih ia mengamati
Setiap hembus angin kelam membuatnya terdiam
Elysia susah payah berusaha membebaskan diri
Dari belenggu yang mengurungnya selama ini
Elysia avonturir yang merindukan kesejatian
Perlahan imajinya menyelam semakin dalam
Elysia mencoba menepiskan setiap batasan
Tirai tirai rimbun yang mengaburkan pandangan
Ia berusaha lepas dari akar-akar liar berduri
Dari belenggu yang mengurungnya selama ini
Elysia avonturir yang merindukan kesejatian
Perlahan imajinya menyelam semakin dalam
Elysia mencoba menepiskan setiap batasan
Tirai tirai rimbun yang mengaburkan pandangan
Ia berusaha lepas dari akar-akar liar berduri
Yang menjerat sayapnya selama ini...
Baca Juga
Puisi Malam: Eksistensi Malam Hari
Puisi Pendek: Hati Manusia Itu Kosong dan Hambar
Puisi Hujan: Hujan Pertama Bulan November
Puisi Rindu: Dapatkan Aku Menjadi Penghujan Diantara Kemaraumu
Puisi Inspirasi: Gubuk Lusuh dan Lesu
Puisi Sedih dan Patah Hati: Romansa Mengekang Jiwa
Puisi Pendek Tentang Perjalanan Manusia dan Alam: Di Ujung Perjalanan Yang Membelenggu