State
Atheism adalah sistem atheisme yang secara resmi dipromosikan oleh
pemerintahan suatu negara. State Atheism meliputi perlawanan aktif
terhadap agama dan penghukuman atas institusi keagamaan, pemimpin, serta
pengikutnya.
Berikut ini adalah negara-negara yang pernah dan atau masih menerapkan State Atheism dalam kehidupan bernegaranya:
1. Republik Rakyat Sosialis Albania
Atheisme
di Albania telah dibawa ke tingkatan yang ekstrem ketika rezim
totalitarian pasca-Perang Dunia II mengidentifikasikan agama sebagai
pengaruh dari luar yang mengancam budaya Albania, sehingga harus
dilarang.
Presiden Albania, Enver Honxha, berniat menghapuskan
semua agama dan membuat Albania menjadi negara yang 100% atheis. Untuk
ini, banyak tempat-tempat ibadah yang dinasionalisasikan, dan ulama
serta para pemeluk agama ditangkapi, disiksa, dan dieksekusi. Semua
pendeta Katholik Roma, termasuk juga kardinal, suster, dan biarawan
diusir dari Albania pada 1946.
2. Republik Sosialis Uni Soviet
Pendiri
Uni Soviet, Vladimir Lenin, mengutip Karl Marx yang mengatakan bahwa
agama adalah candu bagi rakyat, karena hanya menawarkan harapan semu.
Hanya dalam tempo setahun pasca-Revolusi Komunis, negara merampas
properti gereja, termasuk juga gerejanya, dan pada periode antara
1922-1926, sebanyak 28 bishop Orthodoks dan 1.200 pendeta dibunuh
(Jumlah ini bisa jadi lebih besar lagi).
Walaupun rezim berusaha
untuk melenyapkan agama, namun usaha ini mengalami pasang surut seiring
dengan timbulnya respek pada agama tertentu, serta adanya minat yang
lebih penting bagi negara. Bagi Rezim Soviet, masalah nasionalisme dan
agama adalah terkait cukup dekat, sehingga tak mengherankan bahwa sikap
negara terhadap agama cukup bervariasi, mulai dari pelarangan total
pada satu agama tertentu hingga dukungan resmi bagi agama lain.
3. Republik Rakyat Cina
Sejak
berdiri pada 1949, RRC secara resmi adalah negara atheis. Pada periode
awal, terjadi serangkaian permusuhan terhadap agama yang dipandang
sebagai simbol feudalisme dan kolonialisme asing. Tempat-tempat ibadah
semacam kuil, gereja, masjid, dan wihara dirampas dan diubah menjadi
tempat untuk kegiatan sekuler.
Namun kebijakan ini melonggar
pasca-Revolusi Kebudayaan, dengan Konstitusi 1978 menjamin "kebebasan
beragama" di Cina, walau dengan beberapa pembatasan. Ini mendorong
dibangunnya kembali tempat-tempat ibadah, terutama kuil Buddha dan
Taois, yang sempat dihancurkan selama masa Revolusi Kebudayaan. Sekarang
ini, ada lima agama yang diakui di Cina, yaitu: Buddha, Taoisme,
Islam, Kristen Katholik, dan Kristen Protestan.
4. Republik Meksiko Serikat (di bawah Plutarco Elias Calles)
Konstitusi
Meksiko 1917 secara resmi adalah antiklerik dan membatasi kebebasan
beragama secara signifikan. Namun, ketika Presiden Plutarco Elias Calles
berkuasa, pembatasan ini diterapkan secara ketat dan Meksiko menjadi
negara atheis. Salah satu program Calles adalah untuk menghapuskan agama
dari bumi Meksiko. Calles menerapkan kebijakan-kebijakan anti-Katholik
dengan antara lain melarang pembentukan sekolah gereja, merampas
properti gereja, menetapkan penganut Katholik sebagai pelanggar hukum,
dan mencabut hak-hak sipil para ulama termasuk hak diadili di depan juri
dan hak untuk memberi suara. Ini kemudian berujung pada Perang
Cristero, antara Pemerintah melawan kelompok perlawanan Katholik yang
bertahan di daerah Jalisco, Zacatecas, Guanajuato, Colima, dan
Michoacan.
Dalam perang ini, banyak ulama-ulama Katholik dan
kaum Cristero yang secara brutal dibunuh oleh tentara Pemerintah. Atas
"jasa-jasanya" dalam melawan kaum Katholik, Presiden Calles diberikan
medali penghargaan oleh ketua Mexico's Scottish Rite of Freemasonry pada
28 Mei 1926 (Calles sendiri adalah seorang penganut Freemason).
5. Kamboja Demokratik(Khmer Merah)
Konstitusi
Kamboja Demokratik menjamin kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai
agamanya, dan juga kebebasan untuk tak menjalankan ibadah atas agama
apa pun. Namun disebutkan juga bahwa agama reaksioner yang berakibat
buruk pada Kamboja Demokratik dan rakyatnya adalah dilarang. Banyak
pemeluk agama yang dibunuh di "Ladang-ladang Pembantaian" saat rezim
Pol Pot mencoba menekan kaum Buddha di Kamboja. Para biksu dilecehkan,
kuil dan artefak, termasuk patung Buddha, juga dihancurkan. Sementara
itu apabila ada orang yang kedapatan bersembahyang atau berdoa
seringkali dibunuh.
Kaum Nasrani dan Muslim juga mendapat
perlakuan yang tak kalah parah. Gereja Katholik Roma di Pnom Penh
dijarah dan dibumihanguskan, sementara itu oleh Khmer Merah, umat
Muslim juga dipaksa untuk makan daging babi, dan yang menolak dibunuh.
Ulama-ulama Kristen dan Islam banyak pula yang dibunuh.
6. Republik Rakyat Mongolia
Ketika
masa pendudukan Jepang atas Manchuria memberi alasan bagi tentara
Soviet untuk memasuki Mongolia, penyerangan terhadap umat Buddha pun
dimulai. Sementara itu, pembersihan mulai dilakukan pada Partai Komunis
dan Angkatan Bersenjata Mongolia.
Pemimpin Mongolia, Khorloogiin
Choibalsan, mengadopsi banyakj kebijakan yang diterapkan oleh Josef
Stalin di Soviet. Pembersihan ini hampir memusnahkan seluruh penganut
Lamaisme (Buddhisme Tibet) di Mongolia, serta memakan korban
30.000-35.000 jiwa.
7. Republik Kuba
Walaupun
awalnya lebih toleran terhadap agama, menyusul terjadinya Invasi di
Teluk Babi, Kuba mulai menahan umat beragama dan menutup sekolah-sekolah
religius. Semenjak 1960, penjara-penjara di Kuba dipenuhi oleh para
ulama-ulama yang ditahan. Sekolah-sekolah Katholik disita, dan lebih
dari 200 pendeta diasingkan. Pasca-keruntuhan Uni Soviet, Kuba lebih
condong mendeklarasikan dirinya sebagai negara "sekuler" alih-alih
atheis.
Luruhnya sikap antitheis Kuba tercermin ketika Paus
Yohannes Paulus II mengunjungi Kuba pada 1998, yang disambut dengan
hangat oleh Pemerintah Kuba. Dalam pesan perpisahannya, Presiden Fidel
Castro mengucapkan terima kasih kepada Sri Paus karena telah bersedia
mengunjungi "Benteng Terakhir Komunisme".
8. Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara)
Korea
Utara menerapkan kontrol total atas masyarakat dan memberlakukan
atheisme negara. Korea Utara juga menjadikan pemujaan atas pemimpin
mereka, Kim Jung Il dan Kim Il Sung sebagai semacam "agama negara".
Walaupun kebebasan beragama diizinkan dalam konstitusi, namun dalam
kenyataannya, tidak ada praktik agama yang dijalankan secara bebas,
karena kelompok keagamaan hanya dibuat oleh Pemerintah sebagai kesan
semu mengenai adanya kebebasan beragama.
Menurut Kardinal
Nicholas Cheong Jin-Suk, tidak ada pendeta yang berhasil selamat dari
pembersihan pada akhir 1940-an. Saat itu, 166 pendeta dan umat Nasrani
diculik dan dibunuh, termasuk Bishop Pyongyang, Francis Hong Yong Ho.
Agama Buddha, bagaimanapun, masih mendapat sokongan dari pemerintah
walau dengan rasio yang amat terbatas, mengingat Buddhisme memiliki
peran dalam perkembangan budaya Korea.
Walaupun kini
banyak negara telah meninggalkan praktik Atheisme, dalam kenyataannya,
negara-negara semacam Cina, Vietnam, Laos, Korea Utara, dan Kuba, masih
melakukan pembatasan atas umat beragama. Selain penerapan pembatasan,
negara-negara ini juga membangun rumah-rumah ibadah milik negara
(terutama gereja) dengan tujuan untuk memakainya sebagai alat kekuasaan.